Anak-anak Garuda


Anak-anak Garuda, sekarang ini sedang dalam masa yang sulit. Dari kacamata sesama anak muda, negara kita mungkin penghasil anak muda terburuk seantero dunia. Bicara tentang pengetahuan umum dan segala bentuk yang menjadikan seorang manusia adalah manusia, dalam diri generasi anak muda tak ditemukan hal-hal tersebut. Pola pikir dan kebiasaan atau bisa dibilang kebudayaan anak muda, semakin dilihat semakin tampak boroknya. Dalam hal ini memang tidak semua, tetapi delapan dari sepuluh anak muda, khususnya di universitas tempat penulis bernaung, semuanya penuh borok.

Sebelumnya, tulisan ini hanyalah sebuah bentuk pernyataan realita tanpa maksud menyinggung beberapa oknum yang mungkin akan disebutkan di bagian selanjutnya. Pertama, berbicara tentang budaya anak muda, memang tak terlepas dari sebuah asmara. Cobalah untuk mengungkit sebuah pembicaraan tentang asmara dengan anak-anak muda, maka mereka semua akan menanggapi dengan sepenuh hati, dengan tawa dan antusiasme tinggi. Baik mahasiswa ataupun anak-anak muda yang bekerja. Pembicaraan bertopikkan asmara memang tidak salah secara normatif atau moral, tetapi budaya topik asmara di pembicaraan anak muda sungguh hal yang salah. Hal ini menjadikan asmara menjadi prioritas tertinggi anak-anak muda, sehingga mereka tumbuh bukan sebagai pembela bangsa melainkan menjadi pencetak anak.

Sekarang coba ditelaah mengapa budaya topik asmara terjadi di kalangan anak muda? Maka standar yang akan muncul sangatlah banyak. Pertama-tama, sistem pendidikan yang buruk di Indonesia. Secara aksiomatik, pendidik sering membuat candaan terkait asmara, di mana kita semua tahu hal ini memicu bagaimana generasi muda akan tumbuh. Belum lagi budaya di sektor lokal, yaitu keluarga, organisasi, lingkungan dan semacamnya; selalu membawa-bawa topik berupa asmara. Media televisi Indonesia, secara aksiomatik juga dapat dilihat bagaimana kebanyakan program kerap mengangkat topik asmara. Baik itu drama, sinetron, talkshow, atau program televisi lainnya yang memilih topik asmara. Tulisan, novel contohnya, juga sejak dulu sering mengangkat topik asmara. Tetapi penulis tidak menyatakan kalau buku atau televisi adalah hal yang salah. Kita semua tahu, asmara adalah bumbu yang bisa menarik setiap orang. Dengan kata lain memiliki nilai jual yang tinggi. Yang salah adalah bagaimana semua ini, di bangsa kita, dari pagi ke pagi, diletakkan di hadapan mata setiap anak muda yang nantinya akan menjadi pemimpin. Doktrin ini, yang kalau boleh penulis katakan hanya berdasarkan kebutuhan finansial dan terus berjalan sehingga berakhir di sebuah ramalan berupa bangsa tidak akan berkembang.

Perkembangan teknologi, terlepas sebagai salah satu latar belakang budaya topik asmara, bisa dikatakan mempermudah pencarian nafkah, dan mempermudah akses suatu keadaan asmara. Dahulu, seorang pria berkeluarga dengan wanita yang tak jauh dari lingkungannya. Misalnya rekan kerja, teman kecil, keluarga jauh, atau seseorang yang kebetulan bertemu, dan sebagainya. Sekarang berhubungan secara verbal bisa dilakukan lintas samudra. Pertemuan tinggal diatur begitu saja hanya dengan beberapa pesan. Kemudahan akses sosial menjadikan akses asmara juga mudah. Manusia sebagai sifatnya yang menyukai kesenangan, menjadikan asmara salah satu prioritasnya. Jiwa nasionalis, akademis, filosofis dan lain sebagainya yang secara fundamental juga ditujukan demi kesenangan, baik pribadi atau umum, sekarang tertimbun oleh kesenangan yang lebih menyenangkan. Barangkali dengan revolusi industri, dapat dikatakan surga memang telah turun ke dunia.

Lebih lucu lagi, adalah ketika Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) baru-baru ini mengusung sebuah bidang baru yaitu sebuah bidang perfilman. Di bawah naungan Kemenristekdikti, mahasiswa dituntut untuk membuat sebuah channel yang berisikan video/film yang akan menjadi salah satu bentuk pendidikan anak-anak seperti yang terjadi di Rusia. Semua ini kontradiktif sebenarnya. Di sini kita dapat melihat bagaimana pemerintah tidak bisa/tidak kompeten untuk menghentikan program pertelevisian yang berbau tidak mendidik seperti yang disebutkan sebelumnya. Kalau bidang program tersebut dibuat demi pendidikan anak-anak, lantas bukankah lebih baik menutup setiap program televisi yang tidak mendidik lalu menonjolkan program televisi berbau pendidikan. Atau pemerintah bisa meningkatkan pendidikan di bidang desain grafis. Jika pemerintah saja tak bisa menghentikan itu, lantas siapa yang bisa? Mungkin tak perlu banyak-banyak membahas pemerintah karena pemerintahan memiliki banyak sekali sorotan yang lebih urgen.

Kembali ke topik, sekarang cobalah bercerita pengetahuan umum pada anak-anak muda, misalnya filsafat, sejarah, moral, dan lain sebagainya; barangkali hanya sedikit yang bisa merespon. Contoh kecilnya, pergilah menonton sebuah film bersama anak-anak muda, lalu tanyakan pendapatnya tentang film tersebut, atau mungkin nilai yang bisa ia tangkap dari film tersebut, respon yang didapat kemungkinan hanya seru atau tidaknya film tersebut, cantik/tampan tidaknya pemerannya, dan bagaimana kisah asmara yang disajikan. Atau coba tanyakan apa hobinya? Besar kemungkinan jawaban yang mereka berikan hanyalah pernyataan yang berupa kebiasaan yang mereka lakukan, yang jumlahnya bisa banyak sekali atau bahkan karena banyaknya tak satupun akan tersebutkan. Penulis kerap menemukan anak muda yang bingung ketika ditanayakan seputar hobinya.

Budaya dialektika anak-anak muda Indonesia salah satunya adalah menceritakan orang lain. Meski hal ini secara subjektif bisa menambah wawasan, seperti yang sering terjadi di penjuru dunia, baik dari tulisan ataupun dialog, tetapi budaya ini di bangsa kita menjadi rusak karena topik asmara sebelumnya. Anak-anak muda senang menceritakan orang lain yang memiliki kontak emosional dengan mereka. Baik itu secara asmara atau bentuk emosi yang negatif. Kalau tidak ada kontak emosional atau semacamnya, maka tak perlu untuk menceritakan. Kalaupun ada kontak emosi delusional, mereka enggan untuk menceritakan. Kendati menceritakan seseorang di hubungan emosi delusional merupakan topik yang sejak zaman dahulu sangat besar pengaruhnya secara subjek. Misalnya; zaman dahulu prajurit-prajurit menceritakan raja mereka yang sekalipun belum pernah mereka temui secara langsung, atau pemuka-pemuka agama yang menceritakan bagaimana Tuhan menyentuh hatinya, atau akademisi sastra yang sibuk menceritakan Kafka, Hemmingway, Tolstoy, atau Pramoedya. Dalam dialog antar anak muda, yang ditemukan hanyalah tentang bagaimana orang-orang yang tidak perlu diperbincangkan. Bukannya tak perlu berbincang tentang orang-orang yang tak begitu berguna, juga akan terlalu kaku jika setiap hari perbincangan adalah hal-hal yang berat seperti itu. Namun proporsi dialektika yang hadir di tengah-tengah anak muda zaman sekarang memang dalam ranah menyedihkan.

Budaya lainnya adalah uang. Hal ini memang budaya universal dunia dan sampai sekarang dapat kita lihat bagaimana tesis, di mana uang/ekonomi sebagai unsur utama segala sesuatu yang dikemukakan Marx belum juga ada antitesisnya. Bagi anak muda, yang berkuliah ataupun tidak, uang merupakan keperluan yang nomor dua atau satu. Posisinya bisa berganti tergantung pribadi dan latar belakang anak muda tersebut, tetapi dalam bentuknya, dari berbagai kasus anak muda, posisi uang bersandingan dengan asmara sebelumnya. Namun bagi anak muda yang tidak berkuliah, uang di posisi nomor dua sebab mereka sudah bekerja dan memiliki penghasilan tetap.

Ada anak kuliahan yang akan mencoba beberapa kegiatan wirausaha hanya untuk mencari uang. Ada juga anak kuliahan yang ikut multilevel marketing demi mencari uang dengan cepat. Tetapi ada sedikit mahasiswa yang menyiapkan dirinya biar suatu waktu nanti ia lulus, ia bisa mendapatkan sebuah pekerjaan atau menciptakan sebuah lapangan pekerjaan. Mereka belajar, tentunya. Tetapi pengetahuan saja tak bisa menjadi salah satu tolak ukur agar mendapat penghasilan besar. Jiwa kreatif dan inovatif tidak berkembang di kelas kuliah. Ada pernyataan yang mengatakan bahwa semua yang dipelajari di sekolah/universitas tidak akan digunakan begitu di lapangan pekerjaan. Tidak semuanya, mungkin, tetapi memang begitulah semua itu tidak dipergunakan. Pedidikan lantas mendapat sebuah definisi baru, yaitu sebuah sarana penjamin agar mendapat pekerjaan saja. Tetapi bukankah anak muda akan menjadi penerus bangsa, pengubah bangsa, dan menjadi orang-orang yang mencari antitesis atas segala sesuatu yang telah dibuat pendahulunya demi perdamaian sejati? Sayang anak muda sekarang, khususnya di Indonesia, dididik hanya menjadi penerus sehingga lingkaran setan terbentuk.

Teruntuk para pendidik, mereka tak bisa dibersalahkan atas lingkaran setan ini. Kedua kutub harus saling bekerja agar memutus lingkaran ini lalu menjelma sebuah spiral yang kian hari kian membesar. Penulis menolak posisi Indonesia sebagai negara berkembang oleh karena itu. Indonesia tidak sedang berkembang, melainkan sebuah negara yang pertumbuhannya berhenti. Anak-anak Garuda cacat dalam pertumbuhannya, dan begitulah tulisan ini selaksa ingin meronta dari lingkaran tersebut, menjadi satu dari sejuta mata pisau yang mengiris lingkaran setan, biar suatu hari di masa depan, Garuda akan mengembangkan sayapnya menembus langit ketujuh.

Komentar

Postingan Populer