Pencuri-pencuri


Oh, Tuhan. Mengapa kau biarkan negeriku dihuni pencuri-pencuri. Aku kira dunia adalah taman indah yang Kau berikan untuk kami, anakmu. Namun sekarang aku tak bisa melihat setangkai bunga pun di sini. Tidak juga rumput liar. Apalagi pohon-pohon berbuah ranum. Barangkali taman-Mu sudah dijarah pencuri-pencuri itu.

Pencuri perhatian adalah garis darah kami anak-anak bangsa. Anak yang baru lahir di negeriku, saat itu juga mendapat gelar pencuri perhatian. Tumbuh besar, mereka harus bisa mencuri perhatian yang lebih besar. Kalau tak bisa, jangan harap bisa hidup di negeriku. Saat aku lahir dengan kepribadian melankolis yang tidak begitu menyenangi hiruk-pikuk keramaian dan susah bergaul, saat itu juga aku dikutuk tidak akan sukses di negeri ini. Karena kesuksesan adalah milik pencuri perhatian dengan banyak teman. Keahlian khusus dan pengetahuan bukanlah tolak ukur utama. Koneksi dan relasi tolak ukur utamanya.

Pencuri paling berbahaya adalah pencuri yang tidak mengenakan topeng. Mereka tidak perlu menutupi identitas mereka. Kalau tertangkap, mereka akan tersenyum ke hadapan kamera para wartawan. Mereka menjawab semua pertanyaan dengan kerendahan hati serupa padi. Berguyon seolah mereka bukan pencuri, kendati bukti ada di mana-mana. Benar, mereka tidak mengenakan topeng waktu melakukan pencurian besarnya. Tapi waktu tertangkap, diadili, mereka akan mengenakan topeng badut itu. Pencuri uang rakyat! kata pencuri lainnya pada mereka. Tapi aku lebih memilih menyebut mereka pencuri paling berbahaya. Mereka bisa berjalan-jalan tanpa takut polisi menangkap mereka. Justru polisi akan menjadi pengawal mereka waktu hendak mencuri di gedung besar itu. Orang-orang akan memasang wajah mereka di setiap pertigaan jalan. Seorang ibu akan bangga ketika anaknya digendong mereka. Karena bagiku yang paling bahaya adalah ketidaktahuan atau pengetahuan yang tidak digunakan.

Pencuri suci lebih mengerikan lagi. Sebagai bangsa penganut erat religius, pencuri-pencuri ini benar-benar mencemarkan tanah air. Mereka akan mengenakan jubah putih yang menjadi lambang kesucianmu untuk merampok orang-orang. Ada yang datang dengan mata iba yang tidak tertahankan, mengutarakan beberapa bait sabda pada orang-orang dengan semangat membara. Namun harus dengan bayaran yang pas dan jelas. Mereka menjajakan sabda-Mu! Mereka pencuri sabda suci lalu menjualnya pada orang-orang.

Aku benar-benar muak! Amarah bukan lagi kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Seorang suami akan mencuri istri tetangganya. Pria tua akan mencuri masa depan gadis belia yang kebetulan berpapasan. Seorang pengusaha akan saling mencuri dengan saingannya. Anak-anak kami tumbuh dengan darah pencuri mengalir di nadinya. Tumbuh besar dan berakhir menjadi seorang pencuri. Ketika tak cukup lihai tumbuh di negeri pencuri ini, lantas berakhir kelaparan. Aku salah satunya. Aku salah satunya! Tetapi mengapa ketika aku mencuri seekor ayam yang bukan milik siapa-siapa selain milik-Mu, malah berakhir babak belur begini. Mengapa mereka semua masih berkeliaran dengan gelak tawa yang membahana sementara aku yang terpaksa harus mencuri untuk memenuhi isi perut anak-istriku berakhir seperti ini!

Tanganku patah. Mata kiriku seperti ditutupi tirai merah pekat. Kakiku, oh kakiku, sedari tadi mereka hanya bisa gemetar tanpa bisa menopang tubuhku. Tuhanku, sebelum nafas ini berhenti aku berharap Engkau bisa mengabulkan satu permintaanku...

Kumohon, beri anak-istriku makanan yang bukan hasil curian.

Komentar

Postingan Populer